News

Menjaga Idealisme Mahasiswa Di Tengah Arus Kepentingan : Tantangan Indepedensi Mahasiswa

×

Menjaga Idealisme Mahasiswa Di Tengah Arus Kepentingan : Tantangan Indepedensi Mahasiswa

Sebarkan artikel ini

Tangerang- Kabarmetro. co

 

Oleh: Ismi Alaihi Rahmatulloh, S. Kim ( ketua bidang kominfo cabang ( p) Kab Tangerang)

Mahasiswa sering disebut sebagai “agent of change”, agen perubahan yang berperan penting dalam mengawal kemaslahatan bangsa. Sejarah mencatat, banyak perubahan besar di negeri ini yang berawal dari kampus. Gerakan 1966 ( gerakan tritura ), 1998 ( gerakan reformasi ), hingga berbagai aksi sosial kontemporer menunjukkan bahwa mahasiswa bukan sekadar pelajar, tetapi juga penjaga moral dan nurani publik. Namun, di era modern yang sarat dengan kepentingan politik dan pragmatisme, pertanyaan yang muncul adalah apakah mahasiswa masih mampu mempertahankan independensi dan idealismenya?

Di tengah derasnya arus globalisasi dan informasi, mahasiswa kini dihadapkan pada realitas yang kompleks. Dunia pergerakan tidak lagi murni berlandaskan nilai, tetapi sering terseret dalam kepentingan jangka pendek baik politik praktis, kepentingan organisasi, maupun kepentingan pribadi. Akibatnya, gerakan mahasiswa yang seharusnya menjadi suara kebenaran justru kehilangan arah, terjebak dalam dinamika yang pragmatis dan transaksional.

Padahal, idealisme adalah ruh dari setiap gerakan mahasiswa. Tanpa idealisme, pergerakan hanya akan menjadi kerumunan tanpa makna. Idealisme itulah yang membuat mahasiswa berani bersuara meski berhadapan dengan kekuasaan. Ia adalah kompas moral yang membedakan antara gerakan yang murni memperjuangkan rakyat dengan gerakan yang sekadar mencari panggung.

Menjaga idealisme berarti menjaga kemerdekaan berpikir. Mahasiswa harus bebas dari intervensi pihak manapun baik pemerintah, partai politik, kepentingan pribadi, maupun senior senior organisasi lain nya. Kebebasan berpikir inilah yang menjadi fondasi independensi pergerakan. Sayangnya, di banyak ruang kampus, kebebasan ini mulai terancam. Tekanan birokrasi, komersialisasi pendidikan, hingga kooptasi organisasi membuat mahasiswa kehilangan ruang untuk berpikir kritis dan independen.

Namun independensi bukan berarti apatis atau menolak bekerja sama. Mahasiswa tetap bisa berkolaborasi dengan berbagai pihak, selama tidak menggadaikan prinsip dan nilai perjuangannya. Kolaborasi yang sehat justru penting untuk memperluas pengaruh dan memperkuat dampak sosial. Yang harus dijaga adalah batas antara kerja sama dan ketergantungan. Begitu garis itu kabur, independensi akan perlahan memudar.

Dalam konteks pergerakan, organisasi mahasiswa memiliki peran strategis. Ia harus menjadi ruang kaderisasi nilai tempat mahasiswa belajar berpikir kritis, berdialektika, dan menumbuhkan kesadaran sosial. Bukan sekadar wadah kegiatan seremonial atau kepentingan elit. Organisasi yang sehat akan melahirkan kader yang tangguh secara intelektual dan moral, bukan yang mudah tergoda oleh kepentingan sesaat.

Untuk menjaga idealisme, mahasiswa juga perlu terus mengkaji realitas sosial secara mendalam. Membaca, meneliti, dan berdiskusi harus menjadi budaya pergerakan. Sebab tanpa pengetahuan yang kokoh, idealisme mudah tergantikan oleh emosi dan opini yang dangkal. Pergerakan yang cerdas adalah pergerakan yang berbasis data, analisis, dan advokasi bukan sekadar retorika.

Pada akhirnya, idealisme bukan sesuatu yang diwariskan, tetapi diperjuangkan setiap hari. Mahasiswa harus berani menolak godaan pragmatisme dan terus memegang teguh nilai kejujuran, keberanian, dan keberpihakan kepada rakyat. Dunia boleh berubah, teknologi boleh berkembang, tetapi semangat kritis dan keberanian moral tidak boleh hilang.

Mahasiswa yang independen bukan berarti mahasiswa yang menutup diri dari dunia luar, tetapi mereka yang mampu menjaga jarak dari kepentingan yang bisa mencederai nurani perjuangan. Karena pada hakikatnya, menjaga idealisme berarti menjaga jati diri bangsa.

(Rin)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *