BlogNasional

Rawa Tripa Kritis, Ekosistem dan Satwa Langka Terancam Punah

×

Rawa Tripa Kritis, Ekosistem dan Satwa Langka Terancam Punah

Sebarkan artikel ini

Nagan Raya, kabarmetro.co – Kondisi Rawa Tripa yang terletak di pesisir barat Aceh kian memprihatinkan. Berdasarkan data citra satelit tahun 2024, dari total luas 61.803 hektare, hanya tersisa sekitar 6.565,26 hektare hutan alam.

Kerusakan kawasan ini didominasi oleh deforestasi dan konversi lahan gambut menjadi perkebunan sawit. Dampaknya sangat serius terhadap keberlangsungan hidup spesies langka seperti orangutan sumatra (Pongo abelii) dan harimau sumatra (Panthera tigris sumatrae), serta berbagai jenis keanekaragaman hayati lainnya. Menyempitnya habitat juga meningkatkan potensi konflik antara manusia dan satwa liar.

Krisis ini tak hanya mengancam keanekaragaman hayati, tapi juga sumber penghidupan masyarakat lokal yang selama ini menggantungkan hidup dari hasil hutan seperti rotan dan lele rawa. Ekosistem yang rusak membuat mereka kehilangan akses terhadap sumber daya alam yang dulunya menopang kehidupan.

Direktur Yayasan APEL Green Aceh, Syukur Tadu, menilai lemahnya penegakan hukum menjadi penyebab utama terhambatnya upaya pemulihan.

“Kami menilai ketidaktegasan aparat penegak hukum dan lambannya eksekusi putusan pengadilan terhadap dua perusahaan pembakar Rawa Tripa menunjukkan lemahnya komitmen dalam penegakan hukum lingkungan,” ujar Syukur, Kamis (15/5/2025).

“Ini bukan hanya soal kerusakan alam, tetapi juga keadilan bagi masyarakat dan satwa yang hidup di dalamnya,” tambahnya.

Dua perusahaan yang dimaksud adalah PT. Kallista Alam dan PT. Surya Panen Subur II (SPS II), yang masing-masing telah divonis bersalah dalam kasus pembakaran lahan gambut pada tahun 2017 dan 2018. Namun hingga kini, putusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap belum juga dieksekusi.

PT. Kallista Alam diwajibkan memulihkan lahan seluas 1.000 hektare dengan biaya lebih dari Rp251 miliar. Sementara PT. SPS II harus merehabilitasi 1.200 hektare dengan nilai pemulihan mencapai Rp302 miliar.

Yayasan APEL Green Aceh mendesak Pengadilan Negeri Suka Makmue agar segera mengeksekusi putusan tersebut. Mereka juga mendorong Pemerintah Provinsi Aceh dan Pemerintah Kabupaten Nagan Raya untuk segera meningkatkan status Rawa Tripa menjadi kawasan konservasi, guna menyelamatkan sisa ekosistem gambut dan satwa liar yang masih bertahan.

Sebagai bagian dari upaya advokasi, APEL Green Aceh bersama Rettet den Regenwald e.V, Watch Indonesia (FWI), , dan Independent Forest Monitoring Fund (IFM Fund) mengadakan Focus Group Discussion (FGD) bertema “Gambut, Orangutan, dan Krisis Iklim: Mengapa Rawa Tripa Harus Diselamatkan?” pada 14 Mei 2025 di The Mirah Hotel, Bogor.

Dalam FGD ini, berbagai pihak mengusulkan strategi pemulihan, baik litigasi maupun non-litigasi, termasuk:
• Rawa Tripa diusulkan Sebagai Kawasan stategis Kabupaten Dan Provinsi
• Pengusulan pencabutan HGU dengan melibatkan tokoh nasional;
• Audit terhadap pemilik lahan dan mekanisme ISPO/RSPO;
• Kajian kerugian ekonomi akibat kerusakan;
• Pelibatan jaringan masyarakat sipil dalam penyuratan kepada MA dan Banwas MA untuk segera melakukan eksekusi PT Kallista Alam dan PT. Surya Panen Subur;
• Usulan peningkatan status Kawasan Rawa Tripa
• pemetaan biodiversitas yang ada dirawa tripa

Perwakilan organisasi seperti ICEL, Greenpeace, Walhi Nasional, Pantau Gambut, PILI, Sawit Watch, JPIK, IWGFF, kaoem Telapak, Wetlands Internasional, Satya Bumi, Trend Asia, Garda Animalia, dan AJI Jakarta, serta dihadiri oleh PPATK, Partisi Hukum dan Oraganisasi Mahasiswa menyampaikan pentingnya pemulihan ekosistem Rawa Tripa secara menyeluruh, menuntut transparansi pemanfaatan dana denda, dan penguatan komitmen terhadap target FOLU Net Sink 2030.

FGD ini juga menyoroti minimnya ketegasan Pemerintah Aceh terhadap isu Rawa Tripa. Karena itu akan Memicu Kekhawatiran alam menjaga keseimbangan ekosistem dan sebagai habitat bagi berbagai spesies langka. Namun, tanpa komitmen dan tindakan nyata dari pemerintah, kelestarian kawasan ini akan semakin terancam.

Dengan kompleksitas aktor dan kendala eksekusi di lapangan, penyelamatan Rawa Tripa tidak hanya menuntut tindakan cepat, tapi juga konsistensi dalam membongkar jejaring korporasi yang selama ini leluasa merusak tanpa konsekuensi nyata. Saatnya suara masyarakat dan suara rimba didengar sebelum semuanya terlambat

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *