Jakarta –kabarmetro.co – sidang gugatan Kewenangan Aceh terhadap Ketua DPR memasuki tahap pemeriksaan saksi. Kuasa Hukum Ugek Farlian, anggota DPRK Simeulue, Safaruddin, menerangkan ada Ketua Komite I DPD RI, Fachrur Razi, Anggota DPRA, Azhar Abdurrahman dan Ketua DPRK Simeulue, Irwan Suhaimi yang hadir menjadi saksi hari ini, para saksi akan menerangkan kerugian Aceh akibat tidak dilaksanakannya perintah pasal 8 UUPA tentang konsultasi dan pertimbangan DPRA terhadap DPR RI dalam pembahasan UU yang berkaitan dengan kewenangan khusus Aceh.
“Ada Fachrur Razi Anggota DPD, Azhar Abdurrahman dari DPRA dan Irwan Suhaimi Ketua DPRK Simeulue yang hadir menjadi saksi hari ini. Ketiga nya akan menerangkan tentang kerugian yang timbul akibat tidak dilaksanakan perintah UUPA oleh DPR RI yaitu melakukan konsultasi dan pertimbangan DPRA ketika DPR RI membahas UU yang berkaitan dengan kewenangan khusus Aceh”, terang Safar.kamis (08-08-24).
Fachrul Razi menyampaikan bahwa dirinya dan beberapa anggota Dewan Perwakilan Daerah ( DPD) asal Aceh sudah pernah mengingatkan Pimpinan DPR RI saat sedang melakukan pembahasan revisi UU MD3 agar mengakomodir kekhususan Aceh yang telah ditegaskan dalam pasal 8 UU No 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA), hal ini disampaikan karena adanya komplain dari DPRA dan Pemerintah Aceh kepada DPD saat dirinya sedang mendengarkan aspirasi masyarakat di Aceh, namun sampai hari ini DPR RI tidak mengindahkan surat di sampaikan oleh para senator dari Aceh tersebut.
“Kami sering mendapat komplain dari kawan kawan DPRA dan Pemerintah Aceh terkait dengan beberapa UU yang dibahas dan disahkan oleh DPR RI yang terkait dengan kewenangan khusus Aceh, dan hal tersebut kami tindaklanjuti dengan menyurati Ketua DPR RI agar memperhatikan kewenangan Aceh seperti yang sudah diatur dalam pasal 8 UUPA, namun surat kami sampai hari ini tidak mendapatkan respon dari Ketua DPR”, terang Fachrur Razi yang saat ini menjabat sebagai Ketua Komite I DPD RI.
Azhar Abdurrahman mewakili pimpinan DPRA menyampaikan, banyak UU yang dibahas dan disahkan oleh DPR RI yang mendegradasi dan bertentangan dengan norma dalam UUPA, seperti pemberian masa jabatan kepala desa 8 tahun dengan boleh dipilih dua periode lagi, ini bertentangan dengan pasal 159 UUPA, dimana diatur bahwa kepala desa hanya menjabat selama 6 tahun dan hanya dapat dipilih satu periode saja. DPRA juga telah menyurati Ketua DPR RI agar memperhatikan kewenangan Aceh dalam pasal 8 UUPA, dimana mengatur bahwa jika DPR RI membahas UU yang berkaitan dengan kewenangan khusus Aceh maka perlu terlebih dahulu berkonsultasi dan mendapat pertimbangan dari DPRA, namun juga tidak mendapatkan jawaban dari DPR.
“DPRA sudah pernah menyampaikan kepada Ketua DPR pada tahun 2020, agar DPR dalam membahas UU yang berkaitan dengan kewenangan khusus Aceh untuk melakukan konsultasi dan mendapatkan pertimbangan dari DPRA, sebagai mana telah di atur dalam pasal 8 UUPA, dan selama ini tidak pernah dilakukan sehingga terjadi benturan norma UU dengan UUPA, dan selama ini sudah ada beberapa pasal yang bertentangan, namun Ketua DPR sampai saat ini belum juga merespon surat dari DPRA”, terang Azhar yang pernah menjadi Ketua Badan Legislasi DPRA.
Azhar juga menyampaikan bahwa DPRA yang diwakili oleh Kausar dan Samsul Bahri pernah mengajukan judicial review UU Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu Ke Mahkamah Konstitusi karena norma hukumnya bertentangan dengan UUPA, dan MK kemudian mengabulkan permohon JR tersebut dengan salah satu pertimbangan dalam perkara yang diregistrasi dengan nomor 61/PUU- XV/2017 bahwa DPR RI tidak melakukan perintah pasal 8 UUPA, tidak melakukan konsultasi dan pertimbangan DPRA saat membahas UU tersebut, dan MK mencabut pasal 557 dan 571 dalam UU tersebut karena bertentangan dengan pasal 57 dan 60 UUPA.
“DPRA pernah mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, gugatan itu dilayangkan karena dua pasal UU tersebut, yaitu pasal 557 dan 571, yang telah disahkan DPR RI beberapa waktu lalu telah mencabut dua Pasal di dalam UUPA, yaitu pasal 57 tentang Komisi Independen Pemilihan dan pasal 60 tentang Panitia Pengawas Pemilihan di UUPA. Dalam sidang putusan yang digelar MK pada Kamis Siang, Mahkamah mengatakan dua pasal di UU Pemilu, yaitu 557 dan 571, tidak berlaku atau tidak memiliki kekuatan hukum. Artinya, pasal 57 dan 60 dalam UUPA yang dicabut 557 dan 571 tetap berlaku, dan salah satu pertimbangan hukumnya dalam putusan tersebut adalah karena DPR RI tidak melakukan konsultasi dan pertimbangan DPRA sebagai mana telah diatur dalam pasal 8 UUPA”, tambah Azhar yang pernah menjabat Bupati Aceh Jaya selama dua periode.
Ketua DPRK Simeulue, Irwan Suhaimi, menerangkan bahwa Pemerintah Kabupaten Simeulue sangat dirugikan dengan penarikan kewenangan pengelolaan pelabuhan dari kabupaten ke provinsi, hal tersebut telah menghilangkan pendapatan Daerah Simeulue, penarikan kewenangan pengelolaan pelabuhan tersebut didasarkan pada UU No 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, padahal kewenangan pengelolaan pelabuhan oleh kabupaten telah diatur dalam pasal 175 UUPA, pun demikian dengan pendidikan, kami kesulitan untuk menganggarkan dana pembangunan sekolah Menengah Atas dan Kejuruan di Simeulue karena dibatasi oleh UU 22/2014, padahal sekolah tersebut sangat dibutuhkan oleh masyarakat Simeulue, sedangkan Provinsi juga punya keterbatasan dalam melakukan pemerataan pembangunan sekolah menengah dan kejujuran di seluruh Aceh.
“Kami sangat dirugikan dengan penarikan kewenangan pengelolaan pelabuhan dari kabupaten ke provinsi, ini menghilangkan pendapatan Daerah Simeulue, kemudian juga dalam bidang pendidikan, kami kesulitan menganggarkan dana pembangunan sekolah menengah dan kejuruan di Simeulue karena pembatasan yang diatur dalam UU 23/2014, padahal sekolah tersebut sangat dibutuhkan oleh masyarakat Simeulue”, terang Irwan yang pada Pilkada tahun ini akan mencalonkan diri menjadi Wakil Bupati di Simeulue